PENGEMBANGAN TERNAK KELINCI DALAM RANGKA MENDUKUNG SWASEMBADA
DAGING TAHUN 2014
(Studi Kasus di
Kecamatan Cireunghas Kabupaten Sukabumi)
Diat Sujatman
ABSTRAK
Penelitian dilaksanakan di Kecamatan Cireunghas Kabupaten
Sukabumi dari bulan Maret hingga April 2012. Tujuan penelitian adalah : 1) Untuk mengetahui peran pengembangan ternak kelinci dalam mendukung program
swasembada daging tahun 2014, 2) Memberikan
gambaran dan penjelasan tentang manfaat daging kelinci dalam pemenuhan gizi
keluarga dan sebagai sumber penghasilan tambahan bagi masyarakat di perdesaan, 3) Mengupayakan solusi dalam pemecahan
masalah dan menemukan rekomendasi yang tepat untuk pengembangan ternak kelinci
dalam mendukung swasembada daging. Tingkat konsumsi daging kelinci di Kecamatan Cireunghas pada tahun 2010
hanya 2,06% dari produksi dan pada tahun 2011 mengalami peningkatan menjadi
4,82%. Perkembangan ternak kelinci yang begitu pesat di Kecamatan Cireunghas
sampai saat ini belum diimbangi dengan tingkat konsumsi daging kelinci oleh
masyarakat.
Hal tersebut disebabkan karena masyarakat belum terbiasa
mengkonsumsi daging kelinci dan belum mengetahui manfaat dan keunggulan daging
kelinci. Oleh
karena itu, sosialisasi tentang manfaat dan keunggulan mengkonsumsi daging
kelinci perlu gencar dilakukan oleh pemerintah, khususnya melalui
media televisi.
Kata Kunci : Ternak
Kelinci, Swasembada Daging, Tingkat Konsumsi Daging
TINJAUAN PUSTAKA
Kelinci pada awalnya adalah hewan liar yang sulit
dijinakkan. Tetapi sejak dua puluh abad yang silam hewan ini sudah mulai
dijinakkan. Pada umumnya tujuan pemeliharaan kelinci adalah untuk ternak hias,
penghasil daging, kulit dan untuk hewan percobaan. Manfaat lain yang bisa
diambil dari kelinci adalah hasil ikutannya yang dapat dijadikan pupuk,
kerajinan dan pakan ternak. Produk ikutan yang dimaksud adalah produk selain
produk utama. Daging dan kulit/bulu merupakan produk utama ternak kelinci,
tetapi dapat juga dikatakan bahwa salah satunya (daging atau kulit) adalah
produk ikutan. Hal ini tergantung pada sistem dan tujuan pemeliharaan/budidaya
serta jenis kelinci tersebut. Sebagai contoh, kelinci jenis Rex atau Angora yang diternakkan untuk memproduksi bulu, maka daging adalah
produk ikutan. Beberapa produk ikutan lainnya yang diperoleh secara bersamaan
adalah kepala, darah, kaki, tulang dan ekor. Sementara itu, kotoran dan urin
ternak kelinci disebut produk sampingan (Kartadisastra, 2001).
Kelinci termasuk: Phylum Chordata; Subphylum Craniata;
Ordo Lagomorpha; Class Mammalia; Familia Leporidae; Genus Oryctolagus dan
Spesies: Oryctolagus cuniculus (Thakur dan Puranik, 1981). Dalam
penelitian Inventarisasi dan karakterisasi bangsa-bangsa kelinci yang dilakukan
di beberapa daerah di Jawa, RAHARJO et al. (2005) melaporkan bahwa
kelinci yang ada di Indonesia, kecuali jenis Sylvilagus yang berasal
dari Sumatera, adalah kelinci-kelinci import dari berbagai negara di Eropa dan
Amerika. Sentra produksi kelinci saat ini terpusat di daerah wisata dan dataran
tinggi seperti Lembang dan Ciwidey di Jawa Barat, Dieng, Magelang dan
Tawangmangu di Jawa Tengah, Sarangan,
Batu dan Malang di Jawa Timur, Tabanan dan Bedugul di wilayah Bali.
Beberapa jenis kelinci yang menonjol ditemui di Indonesia saat ini
antara lain: kelinci Angora yang
merupakan kelinci penghasil wool, warna putih, dengan bobot dewasa 2,7 kg,
berasal dari Perancis (Sarwono, 2003). Kelinci Lop, bertubuh padat, bobot dewasa 4-5 kg, warna kombinasi kuning,
coklat, hitam dan putih dengan telinga lebar, panjang dan tebal, bobot badan
anak 1,8 kg pada umur 9 minggu; kelinci New
Zealand White dari New Zealand merupakan kelinci albino, pada umur 8 minggu bobot badan anak 1,8 kg, bobot
dewasa 4,5 sampai 5 kg; kelinci Rex
merupakan hewan hobi, kontes dan pameran serta penghasil kulit rambut (fur),
daging (Food) dan fancy (Cheeke et al., 1987).
Kelinci adalah ternak herbivora nonruminansia yang
mempunyai lambung tunggal dengan pembesaran unik di bagian caecum dan colon. Kedua
bagian alat pencernaan ini berfungsi mirip dengan rumen sehingga kelinci
disebut sebagai hewan ruminansia semu (pseudo-ruminant). Sebagai ternak
ruminansia semu, kelinci dapat mencerna sebagian serat kasar, terutama dari
bahan nabati, dengan bantuan bakteri yang hidup di dalam sekum dan colon. Kelinci
juga bersifat coprophagy, yaitu dapat mengkonsumsi kotoran lunaknya
sendiri langsung dari anus, sehingg protein dalam hijauan dapat dimanfaatkan
secara efisien (Fekete, 1985). Pemanfaatan protein yang efisien tersebut
disebabkan oleh penyerapan ulang terhadap zat-zat makanan yang telah mengalami
pencernaan awal oleh bakteri-bakteri yang berada di dalam caecum dan colon yang
dapat mensintesa beberapa zat makanan antara lain protein dan vitamin (Cheeke et
al., 1987).
Selama ini peternakan kelinci di Indonesia masih
diusahakan sebagai peternakan keluarga yang bersifat sambilan. Kegiatan
budidaya dan manajemennya masih sangat sederhana. Sebagai alternatif, usaha
peternakan kelinci sebenarnya dapat dikembangkan dalam bentuk perusahaan
peternakan, sehingga produksi kelinci dapat ditingkatkan sesuai dengan target,
mutu dan permintaan pasar yang berkembang (Sarwono, 2003).
Kelinci mempunyai potensi biologis yang tinggi, yaitu
kemampuan reproduksi yang tinggi, cepat berkembang biak, interval kelahiran
yang pendek, prolifikasi yang sangat tinggi, mudah pemeliharan dan tidak
membutuhkan lahan yang luas. Keuntungan
lainnya yaitu pertumbuhan yang cepat, sehingga cocok untuk diternakkan sebagai
penghasil daging komersial. Kelinci penghasil daging memiliki bobot badan yang
besar dan tumbuh dengan cepat, seperti Flemish
Giant, Chinchilla, New Zealand White, English Spot dan lainnnya (Rarahjo,
2004).
Tingkat produktivitas ternak kelinci dalam menghasilkan
daging lebih tinggi dibandingka dengan ternak sapi, sebagaimana pernyataan
Ensminger et al. (1990), bahwa dari 1 unit kelinci yang terdiri dari 4
ekor induk dengan berat 10 lb (45,39 kg) dengan masa kebuntingan 31 hari, akan menghasilkan 175 ekor kelinci
muda dengan berat masing-masing 4 lb
(1,82 kg), berarti 700 lb (317,73 kg) berat hidup dimana 58% dari berat
tersebut akan diperoleh 400 lb (181,56 kg) daging selama 12 bulan. Sedangkan
dari seekor ternak sapi dengan berat 1000 lb (453,9 kg), untuk memperoleh berat
daging yang sama memerlukan waktu 18 bulan, karena masa bunting yang lebih lama
(283 hari) dan jumlah anak perkelahiran hanya 1 ekor.
Menurut Raharjo (1994), beberapa aspek yang menarik dari
potensi produksi kelinci antara lain: kelinci merupakan sumber protein hewani
yang bermutu tinggi, kelinci cepat berkembang biak (8-10 ekor/kelahiran) karena
dapat dikawinkan setiap waktu bila telah mencapai dewasa kelamin (umur 4-8 bulan),
memiliki masa kebuntingan yang pendek (30 hari), kulitnya dapat dibuat jas,
mantel, peci, mainan anak-anak, kerajinan dan kotorannya digunakan sebagai
pupuk kandang serta mudah dipelihara. Kelinci dimanfaatkan sebagai hewan
percobaan, hewan kesayangan dan sebagai alat peraga, produk dari kelinci juga
disukai masyarakat, karena dagingnya lembut dan rasanya enak.
Daging kelinci mempunyai serat yang halus dan warna
sedikit pucat, sehingga daging kelinci dapat dikelompokkan ke dalam golongan
daging berwarna putih seperti halnya daging ayam. Lawrie (1995) menyatakan
bahwa daging sapi, domba, kambing, babi dan kuda termasuk ke dalam golongan
daging berwarna merah, sedangkan unggas dan kelinci termasuk golongan daging
berwarna putih. Daging putih mempunyai kandungan lemakyang rendah dan kandungan glikogen yang tinggi. Daging
putih memiliki serat yang lebih besar, mengandung lebih sedikit mioglobin,
mitokondria dan enzim respirasi yang berhubungan dengan aktivitas otot yang
singkat dan cepat dengan frekwensi istirahat yang lebih sering serta kandungan
glikogen yang tinggi, sedangkan daging merah memiliki proporsi besar, serat
yang sempit, kaya mioglobin, mitokondria, enzim respirasi yang berhubungan
dengan aktivitas otot yang tinggi dan kandungan glikogen yang rendah. Perbandingan komposisi daging
dari berbagai jenis ternak dapat dilihat pada Tabel 1.
Tabel 1. Perbandingan
komposisi daging dari berbagai jenis ternak
Daging
|
Air
|
Protein
|
Lemak
|
Energi (Kkal)
|
Kolesterol
|
Natrium
|
(g/100g)
|
mg/100g
|
|||||
Kelinci*
|
71,5
|
21,9
|
5,5
|
137
|
53
|
67
|
Ayam (merah)
|
75,8
|
20,9
|
2,8
|
459
|
105
|
90
|
Ayam (putih)
|
74,2
|
24,0
|
1,1
|
449
|
70
|
60
|
Babi
|
74,0
|
21,8
|
4,0
|
123
|
63
|
63
|
Domba
|
70,6
|
20,2
|
8,3
|
156
|
74
|
70
|
Sapi
|
71,9
|
22,5
|
5,1
|
136
|
58
|
63
|
Sumber : Chan
et al, (1985)
Berdasarkan data pada Tabel 1, menunjukkan bahwa daging
kelinci mempunyai kelebihan dalam hal rendahnya kolesterol, sehingga daging
kelinci sangat baik dianjurkan sebagai makanan spesial untuk pasien penyakit
jantung, manula, dan untuk mereka yang mempunyai masalah dengan kelebihan berat
badan. Keuntungan lainnya dikemukakan oleh Bennett (1988) bahwa tulang pada
kelinci lebih tipis, dagingnya halus, seratnya pendek dan mudah dikunyah.
Potensi kelinci tidak hanya sebagai penghasil daging
yang sehat, juga sebagai penghasil kulit bulu (fur) dan wool. Menurut Schlolaut (1981), bahwa kelinci Angora dengan bobot badan 4 kg, akan
menghasilkan 800 gram wool per tahun atau 225 g/kg bobot hidup, yaitu tiga kali
lipat dari pada domba dengan bobot hidup 65 kg, dengan rataan produksi wool 4,5
kg atau 65 g wool per kilogram bobot hidup, sedangkan Rex dan Satin merupakan
kelinci penghasil fur. Fur dari kelinci Rex mempunyai karakteristik yang halus, tebal dan panjangnya
seragam, tidak mudah rontok dan penampilan yang menarik seperti beludru,
sedangkan Satin berbulu panjang,
lebat dan mengkilap, sehingga dapat dijadikan bahan garmen dengan nilai
ekonomis yang tinggi. Selain itu kotoran kelinci merupakan sumber pupuk kandang
yang baik, karena mengandung unsur hara N, P dan K yang cukup tinggi, dan
karena kandungan proteinnya yang tinggi (18% dari berat kering), sehingga
kotoran kelinci masih dapat diolah menjadi pakan ternak.
Potensi lainnya dari ternak kelinci adalah sebagai hewan
hias dan ternak percobaan. Sebagai hewan hias, kelinci mempunyai penampilan
yang lucu, bulu yang lebat, halus dengan berbagai variasi warna menjadikan
ternak ini mempunyai nilai ekonomis yang tinggi, sedangkan sebagai hewan
percobaan, ternak ini telah lama digunakan sebagai hewan percobaan untuk pengembangan
ilmu pengetahuan dan kesejahteraan manusia.
Salah satu upaya yang
dapat ditempuh untuk memenuhi kebutuhan konsumsi daging adalah memberdayakan
ternak-ternak yang pernah ada tetapi kemudian terlupakan seperti kelinci. Sifat
keunggulan ternak kelinci antara lain mampu tumbuh dan berkembang biak dengan
cepat, mempunyai konversi pakan secara efisien dan tidak memmerlukan lahan yang
luas (Sitorus et al, 1982).
HASIL
DAN PEMBAHASAN
4.1. Perkembangan Populasi dan Peternak
Ternak kelinci mulai
diusahakan secara komersial di Kecamatan Cireunghas pada tahun 2007 oleh
seorang anggota Kelompoktani Caringin Mukti Desa Cireunghas yang bernama Iwan Mulyawan
yang awalnya memelihara 25 ekor kelinci. Saat ini populasi ternak kelinci di
Kecamatan Cireunghas mencapai 2.057 ekor yang tersebar di 6 (enam)
kelompoktani. Perkembangan
usahatani ternak kelinci di Kecamatan Cireunghas memang belum begitu pesat, tetapi setidaknya sudah mulai
terlihat ketertarikan para petani terhadap ternak kelinci. Hal tersebut
dibuktikan dengan laju penambahan populasi kelinci yang semakin meningkat.
4.2. Tatalaksana Pemeliharaan, Ketersediaan Bibit dan Pakan
Pemeliharaan
kelinci umumnya masih dalam skala kecil yang menyebabkan sulitnya membuat suatu
industri pengolahan yang menggunakan bahan baku dari kelinci, khususnya dalam
penyediaan daging dan kulit yang sulit diperoleh, karena pada umumnya kelinci
dijual sebagai hewan hias, pada umur kelinci 3 sampai 6 minggu dan masih rentan
penyakit. Disamping itu perkawinan yang tidak terprogram dengan bibit kurang
bermutu menyebabkan tingginya tingkat mortalitas dan sulitnya mendapatkan
kelinci yang seragam.
Pemeliharaan
kelinci di Kecamatan Cireunghas masih dilakukan secara semi intensif, tetapi
meskipun demikian para peternak terus melakukan penataan dalam melakukan usahanya. Usaha ke arah tersebut
ditunjukkan dengan adanya perbaikan pada sistem perkandangan, pemberian pakan
dan pengendalian kesehatan yang telah dilakukan oleh peternak sesuai anjuran.
Dokumentasi tatalaksana pemeliharaan kelinci di Kecamatan Cireunghas dapat
dilihat pada Lampiran 1.
Berdasarkan
hasil survey dan wawancara langsung dengan peternak, sampai saat ini para
peternak kelinci di Kecamatan Cireunghas memperoleh bibit dari peternak lain
dan penyedia bibit kelinci di Kecamatan Kebonpedes Kabupaten Sukabumi. Mereka
secara tidak langsung menjalin hubungan kerja sama dalam hal penyediaan bibit
dan pemasaran. Jalinan kerja sama dalam penyediaan bibit kelinci di Kecamatan
Cireunghas sudah mulai tumbuh. Hal tersebut terjadi seiring dengan perkembangan
ternak kelinci yang semakin pesat. Secara tidak langsung saat ini telah
terjalin kerja sama antar peternak kelinci dan antar kelompoktani dalam
penyediaan bibit.
Pakan
yang diberikan peternak kelinci di Kecamatan Cireunghas berupa rumput lapang
campuran dan dedak halus. Ketersediaan pakan kelinci di Kecamatan Cireunghas
sampai saat ini sangat mendukung dan peternak tidak mengalami kesulitan dalam penyediaan
pakan. Pendukung utama dalam beternak
kelinci adalah tersedianya sumber pakan
pada musim hujan ataupun kemarau. Kelinci cenderung menyukai jenis hijauan yang
lunak, misalnya daun ketela rambat, rumput lapangan, daun kubis, kangkung dan
lain-lain. Hijauan yang keras tidak begitu disukai oleh kelinci, misalnya
alang-alang (lmperata cylindrica), karena
dapat mengakibatkan luka pada mulut, hidung dan saluran pencernaan. Hijauan
yang baik dan digemari kelinci adalah daun ketela rambat, rumput lapangan dan
daun singkong. Selanjutnya dilaporkan pula, hijauan yang kurang disukai kelinci
adalah Setaria sphacelata dan Brachiaria decumbens.
4.3. Konsumsi dan Tingkat Permintaan Daging Kelinci
Berdasarkan hasil survey, konsumsi
daging kelinci sebagai sumber protein di Kecamatan Cireunghas masih rendah. Produksi
dan konsumsi daging kelinci di Kecamatan Cireunghas dapat dilihat pada Tabel 4.
Tabel 4. Produksi dan Konsumsi Daging Kelinci di Kecamatan
Cireunghas
Desa
|
Tahun 2010
|
Tahun 2011
|
|||
Produksi
(kg)
|
Konsums
(kg)
|
Produksi
(kg)
|
Konsums
(kg)
|
||
1
|
Cipurut
|
66,0
|
-
|
120,6
|
3,5
|
2
|
Cireunghas
|
214,2
|
6,5
|
1.213,0
|
58,3
|
3
|
Tegalpanjang
|
74,0
|
-
|
76,5
|
4,3
|
4
|
Cikurutug
|
146,5
|
2,5
|
146,7
|
6,5
|
5
|
Bencoy
|
200,6
|
5,5
|
547,5
|
28,47
|
Jumlah
|
701,3
|
14,5
|
2.104,3
|
101,47
|
Sumber : Data hasil
survey (2012)
Data pada
Tabel 4 menunjukkan bahwa tingkat konsumsi daging kelinci di Kecamatan
Cireunghas pada tahun 2010 hanya 2,06% dari produksi dan pada tahun 2011
mengalami peningkatan menjadi 4,82%. Perkembangan ternak kelinci yang begitu
pesat di Kecamatan Cireunghas sampai saat ini belum diimbangi dengan tingkat
konsumsi daging kelinci oleh masyarakat. Hal tersebut disebabkan karena
masyarakat belum terbiasa mengkonsumsi daging kelinci dan belum mengetahui
manfaat dan keunggulan daging kelinci. Sampai saat ini hasil ternak kelinci
dipasarkan berupa anak kelinci sebagai hewan peliharaan/kesayangan dan sebagai
hewan percobaan. Pemasaran dilakukan
melalui kerja sama antar kelompoktani ke wilayah Bogor dan Jakarta.
Tingkat konsumsi
daging kelinci di Kecamatan Cireunghas berangsur mengalami peningkatan seiring
perkembangan ternak kelinci dan pengetahuan masyarakat tentang keunggulan
daging kelinci. Menurut hasil survey dan observasi lapangan, para peternak
kelinci menyatakan bahwa sekarang sudah terbiasa dan tidak canggung lagi
mengkonsumsi daging kelinci, bahkan pada hari raya Idul Fitri mereka sudah
beralih dari konsumsi daging sapi ke daging kelinci. Hal tersebut terjadi hanya
pada sebagian kecil masyarakat yang telah memelihara dan mengetahui keunggulan
daging kelinci, sedangkan sebagian besar penduduk belum mengetahui manfaat dan
keunggulan daging kelinci, sehingga tingkat konsumsi daging kelinci masih
rendah jika dibandingkan dengan jumlah penduduk di Kecamatan Cireunghas.
Pengembangan
ternak kelinci sebagai penyedia daging sampai saat ini masih menemui banyak
kendala karena daging dari ternak ini belum populer dan diterima oleh sebagian
masyarakat, sehingga sulit dalam pemasarannya. Kesulitan pemasaran lebih banyak
disebabkan oleh faktor kebiasaan makan (food habit) dan efek psikologis
yang menganggap bahwa kelinci sebagai hewan hias atau kesayangan yang tidak
layak untuk dikonsumsi dagingnya. Merubah faktor kebiasaan makan adalah hal
yang sulit, karena manusia biasanya memiliki ikatan batin, loyalitas dan sensitifitas
terhadap kebiasaan makannya meskipun hal ini dapat ditembus, namun memerlukan
jangka waktu yang lama.
Perubahan
kebiasaan makan dapat terjadi melalui dua cara, yaitu melalui perubahan
lingkungan dan perubahan pada makanan itu sendiri yang akan sampai pada suatu
keputusan untuk menerima atau menolak suatu makanan. Perubahan lingkungan
mencakup hal yang kompleks, yaitu sosial, ekonomi dan ekologis yang mengarah
kepada perubahan kebudayaan dan keadaan sosial, sehingga perubahan penyajian
merupakan langkah yang lebih cepat dalam mensosialisasikan daging kelinci. Hal
ini terbukti masyarakat sudah mulai menerima daging kelinci dalam bentuk olahan
sate dan gule, oleh karena itu aplikasi teknologi pengolahan daging merupakan
langkah yang tepat untuk mensosialisasi dan mempopulerkan daging kelinci
dimasyarakat yang pada akhirnya dapat meningkatkan perkembangan ternak kelinci.
Hasil
telaah data dari Ditjen Peternakan dan Kesehatan Hewan tentang tingkat konsumsi
daging tahun 2005 – 2009 menggambarkan,
tingkat konsumsi daging sapi sekitar 20% dari total konsumsi daging per kapita
per tahun. Dengan kata lain, penduduk Indonesia seharusnya [minimum]
mengkonsumsi sekitar [0,2 x 10,3] = 2,06 kg daging sapi per kapita per tahun. Jika 10% penduduk Kecamatan Cireunghas
mengkonsumsi daging kelinci sebesar 10%
dari total konsumsi daging per kapita per tahun maka akan diperoleh angka sebesar [0,1 x 32.282] [0,1 x 10,3] = 3.325,05 kg
daging kelinci per tahun. Hal tersebut akan sangat berperan dalam mensukseskan program
swasembada daging pada tahun 2014, karena terjadi konversi konsumsi dari daging
sapi ke daging kelinci.
Pemerintah
telah berusaha untuk mengantisipasi peningkatan konsumsi protein hewani dengan
meningkatkan produksi peternakan melalui peningkatan populasi dan produktivitas
ternak ruminansia, diantaranya ternak sapi dan kerbau, melalui program
swasembada daging sapi/kerbau (PSDS/K) tahun 2014. Penyediaan daging hanya dari
ternak tersebut tampaknya kurang optimistik, karena ternak ruminansia lambat tingkat
reproduksinya, sedangkan ternak unggas dan babi meskipun mempunyai kemampuan
reproduksi yang tinggi dan tingkat pertumbuhan yang cepat, tetapi membutuhkan
pakan yang mahal dan berkompetensi dengan manusia. Oleh karena itu, diperlukan
ternak lain yang mempunyai potensi biologis yang tinggi dan ekonomis sebagai
penghasil daging.
Berdasarkan
hasil survey dan observasi lapangan diketahui bahwa meskipun tingkat konsumsi
daging kelinci di Kecamatan Cireunghas masih rendah, tetapi penulis optimis bahwa secara bertahap
pemanfaatan daging kelinci sebagai sumber protein akan terus meningkat dan akan
terjadi konversi konsumsi dari daging sapi ke daging kelinci. Hal tersebut akan
berpengaruh positif dan dapat mendukung program swasembada daging tahun 2014.
4.4. Potensi dan Kendala Pengembangan Kelinci
Kelinci
mempunyai potensi tinggi untuk dikembangkan sebagai penghasil daging, karena
secara teori seekor induk dapat menghasilkan 80 kg daging dalam setahun, atau
44 kg anak bobot sapih. Kelinci memiliki
potensi biologis yang tinggi, diantaranya dapat dikawinkan kapan saja asal
telah dewasa kelamin, beranak banyak, waktu bunting pendek, pertumbuhan cepat,
mempunyai keragaman genetik yang tinggi antar ras dan dalam ras (lebih dari 20
ras dan tiap ras memiliki beberapa galur). Selain itu juga mempunyai kemampuan
memanfaatkan hijauan dan produk limbah secara efisien sehingga tidak bersaing
dengan manusia. Daerah yang cocok untuk tumbuh dan berkembangbiaknya kelinci
secara umum pada daerah sub tropis (dingin) sampai tropis dengan suhu agak
rendah dan kelembaban tinggi terutama untuk penghasil kulit dan bulu.
Daya
dukung dan potensi wilayah Kecamatan Cireunghas
memberi peluang bagi pengembangan ternak kelinci, antara lain karena
disatu pihak kepadatan penduduk yang tinggi dengan kondisi pemenuhan gizi yang kurang,
dilain pihak hijauan dan limbah
pertanian tersedia sepanjang tahun, musim yang relatif tidak berubah sepanjang
tahun dan tingginya potensi kelinci itu sendiri, sangat memungkinkan
pengembangan ternak kelinci secara efektif.
Beberapa
aspek yang sangat menarik dari potensi ternak kelinci untuk dikembangkan adalah
: 1) Beternak kelinci tidak memerlukan
modal dan biaya pemeliharaan yang tinggi, bahkan dalam keadaan sederhana
kelinci dapat tumbuh dan berkembangbiak dengan baik karena ukurannya yang
kecil. Kelinci dapat dipelihara dalam skala kecil (backyard) atau dalam
skala besar (Commercial). Ini penting artinya bagi penduduk Indonesia,
dimana pemilikan lahan sangat terbatas; 2) Kelinci mempunyai kemampuan
reproduksi yang tinggi. Secara teoritis, kelinci dapat beranak 10 kali/tahun
dengan jumlah rata-rata anak 8 ekor/litter dan dapat mencapai bobot karkas 1 kg
pada umur 10 minggu, dewasa kelamin pada umur 5-7 bulan, lama bunting 31 hari
serta dapat dikawinkan kembali segera setelah beranak; dan 3) Daging kelinci mempunyai gizi dan rasa yang
lebih unggul dibandingkan daging yang berasal dari ternak lainnya sehingga
sangat baik dan aman dikonsumsi anak-anak maupun dewasa serta usia lanjut,
karena kandungan protein tinggi (21%) dengan kandungan kolesterol sangat rendah
(0,1%) serta mengandung asam linoleat tertinggi diantara ternak lainnya
(22,5%).
Kendala utama yang dihadapi dalam pengembangan ternak
kelinci adalah : 1) Dari segi produksi, kendala yang dihadapi adalah rendahnya
produktivitas dan mutu hasil, terutama pada pemeliharaan skala kecil yang
diakibatkan kurangnya pengetahuan manajemen pemeliharaan; 2) Kelinci merupakan
hewan kesayangan dan bentuknya mirip kucing dan tikus, serta adanya anggapan
bahwa daging kelinci tidak halal untuk dimakan, sehingga sangat sulit untuk
memasyarakatkan daging kelinci sebagai sumber pangan alternatif; dan 3)
Pengembangan agribisnis ternak kelinci masih memerlukan promosi yang intensif
dan kemampuan untuk memasuki pasar atau
menciptakan pasar.
KESIMPULAN
DAN SARAN
5.1.
Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian
dapat disimpulkan hal-hal sebagai berikut :
- Pengembangan ternak kelinci di Kecamatan Cireunghas tiap tahunnya mengalami peningkatan yang cukup signifikan, dimana saat ini, jumlah keseluruhan populasi kelinci mencapai 2.057 ekor, dengan jumlah peternak sebanyak 12 orang.
- Ternak kelinci memiliki potensi yang sangat besar untuk dikembangkan dalam rangka mencapai swasembada daging tahun 2014. Potensi tersebut terkait dengan keunggulan yang dimiliki kelinci, yaitu : (1) Beternak kelinci tidak memerlukan modal dan biaya pemeliiharaan yang tinggi, bahkan dapat diusahakan dalam skala rumah tangga; (2) Kelinci mempunyai kemampuan reproduksi yang tinggi; dan (3) Daging kelinci memiliki rasa dan gizi yang lebih unggul dibandingkan ternak lain.
- Hambatan
yang dihadapi dalam pengembangan ternak kelinci antara lain : (1) Kelinci lebih
populer sebagai hewan peliharaan dibandingkan sebagai hewan ternak, sehingga
sebagian besar masyarakat enggan untuk mengkonsumsi daging kelinci; (2) Masih
rendahnya keterampilan petani/peternak dalam membudidayakan kelinci, sehingga
motivasi untuk berusahatani kelinci di sebagian besar petani/peternak relatif
kecil; (3) Sulitnya mendapatkan bibit kelinci pedaging yang berkualitas,
sehingga penggunaan bibit yang kurang unggul mengakibatkan rendahnya
produktivitas daging kelinci; dan (4) Kurangnya perhatian Pemerintah dalam
pengembangan ternak kelinci, karena lebih memfokuskan perhatian terhadap ternak
lain, seperti sapi, untuk mencapai swasembada daging;
5.2. Saran
- Perlu dilakukan sosialisasi yang intensif oleh Pemerintah kepada masyarakat, terutama melalui media televisi, tentang keunggulan dan manfaat mengkonsumsi daging kelinci, sehingga dapat menumbuhkan minat masyarakat untuk mengkonsumsi daging kelinci, yang pada akhirnya dapat meningkatkan gairah petani/peternak untuk membudidayakan kelinci.
- Perlu dilakukan pelatihan, kursus tani, bimbingan teknis, dan metode penyuluhan lainnya bagi petani/peternak untuk meningkatkan pengetahuan dan keterampilan dalam membudidayakan kelinci, sehingga memungkinkan diperolehnya produktivitas ternak kelinci yang lebih tinggi.
- Perlu ditumbuhkembangkan kelompoktani yang fokus terhadap pembibitan kelinci unggul, sehingga pengembangan ternak kelinci tidak terkendala pada penyediaan bibit berkualitas.
- Untuk meningkatkan penerimaan masyarakat terhadap daging kelinci serta dalam upaya diversifikasi pangan hewani, maka pengembangan produk olahan daging kelinci perlu ditingkatkan. Oleh sebab itu, perlu ditumbuhkan sentra-sentra industri kecil, menengah, ataupun besar yang memproduksi olahan daging kelinci, seperti dalam bentuk nugget.
- Pengembangan usaha ternak kelinci harus dilakukan secara simultan dari hulu sampai hilir oleh karena itu diperlukan bantuan pemerintah berupa kredit lunak yang tidak memberatkan peternak.
- Perlu dilakukan penelitian lanjutan untuk mengetahui sejauh mana pengaruh pengembangan ternak kelinci dalam mendukung swasembada daging.
DAFTAR PUSTAKA
Bennett, B. 1988. Raising Rabbits The Modern Way. A Garden
Way Pub. Book, UnitedSatates.
[BP3K] Balai Penyuluhan Pertanian, Perikanan dan Kehutanan, 2011.
Programa Penyuluhan Pertanian,Perikanan
dan Kehutanan Kecamatan Cireunghas Tahun 2012. Sukabumi: BP3K.
Chan, W., J. Brown, S.M. Lee and D.H. Buss. 1995. Meat, Poultry and Game. The Royal
Society of Chemistry, London
Cheeke, P.R., N.M.
Patton, S.D. Lukefahr and J.I. Mcnitt. 1987. Rabbit Production. The Interstate Printers and Publishers Inc.
Danville, illinois.
Ensiminger, M.E., J.E. Oldfield.,
W.W. Heinmann. 1990. Feed and Nutrition.
2nd Ed.The Ensminger Pub. Co., USA.
Kartadisastra, H.R. 2001. Ternak
kelinci. Kanisius. Yogyakarta.
Raharjo, Y.C., T. Murtisari,
Sajimin, B. Wibowo, Nurhayati, D. Purwantari, Lugiyo dan Hartati. 2004. Pemanfaatan aneka ternak sebagai sumber
pangan hewani dan produk lain bermutu tinggi. Laporan Penelitian. Balai
Penelitian Ternak Ciawi, Bogor.
Raharjo, Y.C. 1994. Potential and prospect of an integrated rex
rabbit farming in supporting an export oriented agribisnis. J. IARD 16:
69-81.
Sarwono, B. 2003. Kiat mengatasi permasalahan praktis kelinci
potong dan hias. Agromedia Pustaka. Jakarta.
Schlolaut, W., 1981. The Production Capacity of Rabbit in Meat
and Wool. Animal Research and Development. Vol IV.
Sitorus P., S. Sastrodihardjo, Y.C. Raharjo,
I.G.Putu, Santoso, B. Sudaryanto dan A. Nurhadi. 1982. Budidaya Peternakan
Kelinci di Jawa. Laporan. Pusat Penelitian dan Pengembagan Peternakan. Bogor
Tidak ada komentar:
Posting Komentar