Kamis, 06 September 2012

Ternak Kelinci


PENGEMBANGAN TERNAK KELINCI DALAM RANGKA MENDUKUNG SWASEMBADA DAGING TAHUN 2014
(Studi Kasus di Kecamatan Cireunghas Kabupaten Sukabumi)

Diat Sujatman


ABSTRAK



Penelitian dilaksanakan di Kecamatan Cireunghas Kabupaten Sukabumi dari bulan Maret hingga April 2012. Tujuan penelitian adalah : 1) Untuk mengetahui peran pengembangan ternak kelinci dalam mendukung program swasembada daging tahun 2014,  2) Memberikan gambaran dan penjelasan tentang manfaat daging kelinci dalam pemenuhan gizi keluarga dan sebagai sumber penghasilan tambahan bagi masyarakat di perdesaan, 3) Mengupayakan solusi dalam pemecahan masalah dan menemukan rekomendasi yang tepat untuk pengembangan ternak kelinci dalam mendukung swasembada daging. Tingkat konsumsi daging kelinci di Kecamatan Cireunghas pada tahun 2010 hanya 2,06% dari produksi dan pada tahun 2011 mengalami peningkatan menjadi 4,82%. Perkembangan ternak kelinci yang begitu pesat di Kecamatan Cireunghas sampai saat ini belum diimbangi dengan tingkat konsumsi daging kelinci oleh masyarakat. Hal tersebut disebabkan karena masyarakat belum terbiasa mengkonsumsi daging kelinci dan belum mengetahui manfaat dan keunggulan daging kelinci. Oleh karena itu, sosialisasi tentang manfaat dan keunggulan mengkonsumsi daging kelinci perlu gencar dilakukan oleh pemerintah, khususnya melalui media televisi.

Kata Kunci :       Ternak Kelinci, Swasembada Daging, Tingkat Konsumsi Daging




TINJAUAN PUSTAKA

Kelinci pada awalnya adalah hewan liar yang sulit dijinakkan. Tetapi sejak dua puluh abad yang silam hewan ini sudah mulai dijinakkan. Pada umumnya tujuan pemeliharaan kelinci adalah untuk ternak hias, penghasil daging, kulit dan untuk hewan percobaan. Manfaat lain yang bisa diambil dari kelinci adalah hasil ikutannya yang dapat dijadikan pupuk, kerajinan dan pakan ternak. Produk ikutan yang dimaksud adalah produk selain produk utama. Daging dan kulit/bulu merupakan produk utama ternak kelinci, tetapi dapat juga dikatakan bahwa salah satunya (daging atau kulit) adalah produk ikutan. Hal ini tergantung pada sistem dan tujuan pemeliharaan/budidaya serta jenis kelinci tersebut. Sebagai contoh, kelinci jenis Rex atau Angora yang diternakkan untuk memproduksi bulu, maka daging adalah produk ikutan. Beberapa produk ikutan lainnya yang diperoleh secara bersamaan adalah kepala, darah, kaki, tulang dan ekor. Sementara itu, kotoran dan urin ternak kelinci disebut produk sampingan (Kartadisastra, 2001).
Kelinci termasuk: Phylum Chordata; Subphylum Craniata; Ordo Lagomorpha; Class Mammalia; Familia Leporidae; Genus Oryctolagus dan Spesies: Oryctolagus cuniculus (Thakur dan Puranik, 1981). Dalam penelitian Inventarisasi dan karakterisasi bangsa-bangsa kelinci yang dilakukan di beberapa daerah di Jawa, RAHARJO et al. (2005) melaporkan bahwa kelinci yang ada di Indonesia, kecuali jenis Sylvilagus yang berasal dari Sumatera, adalah kelinci-kelinci import dari berbagai negara di Eropa dan Amerika. Sentra produksi kelinci saat ini terpusat di daerah wisata dan dataran tinggi seperti Lembang dan Ciwidey di Jawa Barat, Dieng, Magelang dan Tawangmangu di  Jawa Tengah, Sarangan, Batu dan Malang di Jawa Timur, Tabanan dan Bedugul di wilayah Bali.
Beberapa jenis kelinci yang menonjol ditemui di Indonesia saat ini antara lain: kelinci Angora yang merupakan kelinci penghasil wool, warna putih, dengan bobot dewasa 2,7 kg, berasal dari Perancis (Sarwono, 2003). Kelinci Lop, bertubuh padat, bobot dewasa 4-5 kg, warna kombinasi kuning, coklat, hitam dan putih dengan telinga lebar, panjang dan tebal, bobot badan anak 1,8 kg pada umur 9 minggu; kelinci New Zealand White dari New Zealand merupakan kelinci albino, pada umur      8 minggu bobot badan anak 1,8 kg, bobot dewasa 4,5 sampai 5 kg; kelinci Rex merupakan hewan hobi, kontes dan pameran serta penghasil kulit rambut (fur), daging (Food) dan fancy (Cheeke et al., 1987). 

Kelinci adalah ternak herbivora nonruminansia yang mempunyai lambung tunggal dengan pembesaran unik di bagian caecum dan colon. Kedua bagian alat pencernaan ini berfungsi mirip dengan rumen sehingga kelinci disebut sebagai hewan ruminansia semu (pseudo-ruminant). Sebagai ternak ruminansia semu, kelinci dapat mencerna sebagian serat kasar, terutama dari bahan nabati, dengan bantuan bakteri yang hidup di dalam sekum dan colon. Kelinci juga bersifat coprophagy, yaitu dapat mengkonsumsi kotoran lunaknya sendiri langsung dari anus, sehingg protein dalam hijauan dapat dimanfaatkan secara efisien (Fekete, 1985). Pemanfaatan protein yang efisien tersebut disebabkan oleh penyerapan ulang terhadap zat-zat makanan yang telah mengalami pencernaan awal oleh bakteri-bakteri yang berada di dalam caecum dan colon yang dapat mensintesa beberapa zat makanan antara lain protein dan vitamin (Cheeke et al., 1987).
Selama ini peternakan kelinci di Indonesia masih diusahakan sebagai peternakan keluarga yang bersifat sambilan. Kegiatan budidaya dan manajemennya masih sangat sederhana. Sebagai alternatif, usaha peternakan kelinci sebenarnya dapat dikembangkan dalam bentuk perusahaan peternakan, sehingga produksi kelinci dapat ditingkatkan sesuai dengan target, mutu dan permintaan pasar yang berkembang (Sarwono, 2003).  
Kelinci mempunyai potensi biologis yang tinggi, yaitu kemampuan reproduksi yang tinggi, cepat berkembang biak, interval kelahiran yang pendek, prolifikasi yang sangat tinggi, mudah pemeliharan dan tidak membutuhkan lahan yang luas.  Keuntungan lainnya yaitu pertumbuhan yang cepat, sehingga cocok untuk diternakkan sebagai penghasil daging komersial. Kelinci penghasil daging memiliki bobot badan yang besar dan tumbuh dengan cepat, seperti Flemish Giant, Chinchilla, New Zealand White, English Spot dan lainnnya (Rarahjo, 2004).
Tingkat produktivitas ternak kelinci dalam menghasilkan daging lebih tinggi dibandingka dengan ternak sapi, sebagaimana pernyataan Ensminger et al. (1990), bahwa dari 1 unit kelinci yang terdiri dari 4 ekor induk dengan berat 10 lb (45,39 kg) dengan masa kebuntingan  31 hari, akan menghasilkan 175 ekor kelinci muda dengan berat masing-masing    4 lb (1,82 kg), berarti 700 lb (317,73 kg) berat hidup dimana 58% dari berat tersebut akan diperoleh 400 lb (181,56 kg) daging selama 12 bulan. Sedangkan dari seekor ternak sapi dengan berat 1000 lb (453,9 kg), untuk memperoleh berat daging yang sama memerlukan waktu 18 bulan, karena masa bunting yang lebih lama (283 hari) dan jumlah anak perkelahiran hanya 1 ekor.
Menurut Raharjo (1994), beberapa aspek yang menarik dari potensi produksi kelinci antara lain: kelinci merupakan sumber protein hewani yang bermutu tinggi, kelinci cepat berkembang biak (8-10 ekor/kelahiran) karena dapat dikawinkan setiap waktu bila telah mencapai dewasa kelamin (umur 4-8 bulan), memiliki masa kebuntingan yang pendek (30 hari), kulitnya dapat dibuat jas, mantel, peci, mainan anak-anak, kerajinan dan kotorannya digunakan sebagai pupuk kandang serta mudah dipelihara. Kelinci dimanfaatkan sebagai hewan percobaan, hewan kesayangan dan sebagai alat peraga, produk dari kelinci juga disukai masyarakat, karena dagingnya lembut dan rasanya enak.
Daging kelinci mempunyai serat yang halus dan warna sedikit pucat, sehingga daging kelinci dapat dikelompokkan ke dalam golongan daging berwarna putih seperti halnya daging ayam. Lawrie (1995) menyatakan bahwa daging sapi, domba, kambing, babi dan kuda termasuk ke dalam golongan daging berwarna merah, sedangkan unggas dan kelinci termasuk golongan daging berwarna putih. Daging putih mempunyai kandungan lemakyang rendah  dan kandungan glikogen yang tinggi. Daging putih memiliki serat yang lebih besar, mengandung lebih sedikit mioglobin, mitokondria dan enzim respirasi yang berhubungan dengan aktivitas otot yang singkat dan cepat dengan frekwensi istirahat yang lebih sering serta kandungan glikogen yang tinggi, sedangkan daging merah memiliki proporsi besar, serat yang sempit, kaya mioglobin, mitokondria, enzim respirasi yang berhubungan dengan aktivitas otot yang tinggi dan kandungan glikogen yang rendah. Perbandingan komposisi daging dari berbagai jenis ternak dapat dilihat pada Tabel 1.
Tabel 1. Perbandingan komposisi daging dari berbagai jenis ternak
Daging
Air
Protein
Lemak
Energi (Kkal)
Kolesterol
Natrium
(g/100g)
mg/100g
Kelinci*
71,5
21,9
5,5
137
53
67
Ayam (merah)
75,8
20,9
2,8
459
105
90
Ayam (putih)
74,2
24,0
1,1
449
70
60
Babi
74,0
21,8
4,0
123
63
63
Domba
70,6
20,2
8,3
156
74
70
Sapi
71,9
22,5
5,1
136
58
63
Sumber : Chan et al,  (1985)
Berdasarkan data pada Tabel 1, menunjukkan bahwa daging kelinci mempunyai kelebihan dalam hal rendahnya kolesterol, sehingga daging kelinci sangat baik dianjurkan sebagai makanan spesial untuk pasien penyakit jantung, manula, dan untuk mereka yang mempunyai masalah dengan kelebihan berat badan. Keuntungan lainnya dikemukakan oleh Bennett (1988) bahwa tulang pada kelinci lebih tipis, dagingnya halus, seratnya pendek dan mudah dikunyah.
Potensi kelinci tidak hanya sebagai penghasil daging yang sehat, juga sebagai penghasil kulit bulu (fur) dan wool. Menurut Schlolaut (1981), bahwa kelinci Angora dengan bobot badan 4 kg, akan menghasilkan 800 gram wool per tahun atau 225 g/kg bobot hidup, yaitu tiga kali lipat dari pada domba dengan bobot hidup 65 kg, dengan rataan produksi wool 4,5 kg atau 65 g wool per kilogram bobot hidup, sedangkan Rex dan Satin merupakan kelinci penghasil fur. Fur dari kelinci Rex mempunyai karakteristik yang halus, tebal dan panjangnya seragam, tidak mudah rontok dan penampilan yang menarik seperti beludru, sedangkan Satin berbulu panjang, lebat dan mengkilap, sehingga dapat dijadikan bahan garmen dengan nilai ekonomis yang tinggi. Selain itu kotoran kelinci merupakan sumber pupuk kandang yang baik, karena mengandung unsur hara N, P dan K yang cukup tinggi, dan karena kandungan proteinnya yang tinggi (18% dari berat kering), sehingga kotoran kelinci masih dapat diolah menjadi pakan ternak.
Potensi lainnya dari ternak kelinci adalah sebagai hewan hias dan ternak percobaan. Sebagai hewan hias, kelinci mempunyai penampilan yang lucu, bulu yang lebat, halus dengan berbagai variasi warna menjadikan ternak ini mempunyai nilai ekonomis yang tinggi, sedangkan sebagai hewan percobaan, ternak ini telah lama digunakan sebagai hewan percobaan untuk pengembangan ilmu pengetahuan dan kesejahteraan manusia.
Salah satu upaya yang dapat ditempuh untuk memenuhi kebutuhan konsumsi daging adalah memberdayakan ternak-ternak yang pernah ada tetapi kemudian terlupakan seperti kelinci. Sifat keunggulan ternak kelinci antara lain mampu tumbuh dan berkembang biak dengan cepat, mempunyai konversi pakan secara efisien dan tidak memmerlukan lahan yang luas (Sitorus et al, 1982).




HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1.      Perkembangan Populasi dan Peternak

Ternak kelinci mulai diusahakan secara komersial di Kecamatan Cireunghas pada tahun 2007 oleh seorang anggota Kelompoktani Caringin Mukti Desa Cireunghas yang bernama Iwan Mulyawan yang awalnya memelihara 25 ekor kelinci. Saat ini populasi ternak kelinci di Kecamatan Cireunghas mencapai 2.057 ekor yang tersebar di 6 (enam) kelompoktani. Perkembangan usahatani ternak kelinci di Kecamatan Cireunghas memang belum  begitu pesat, tetapi setidaknya sudah mulai terlihat ketertarikan para petani terhadap ternak kelinci. Hal tersebut dibuktikan dengan laju penambahan populasi kelinci yang semakin meningkat.
4.2.      Tatalaksana Pemeliharaan, Ketersediaan Bibit dan Pakan
Pemeliharaan kelinci umumnya masih dalam skala kecil yang menyebabkan sulitnya membuat suatu industri pengolahan yang menggunakan bahan baku dari kelinci, khususnya dalam penyediaan daging dan kulit yang sulit diperoleh, karena pada umumnya kelinci dijual sebagai hewan hias, pada umur kelinci 3 sampai 6 minggu dan masih rentan penyakit. Disamping itu perkawinan yang tidak terprogram dengan bibit kurang bermutu menyebabkan tingginya tingkat mortalitas dan sulitnya mendapatkan kelinci yang seragam.
Pemeliharaan kelinci di Kecamatan Cireunghas masih dilakukan secara semi intensif, tetapi meskipun demikian para peternak terus melakukan penataan dalam  melakukan usahanya. Usaha ke arah tersebut ditunjukkan dengan adanya perbaikan pada sistem perkandangan, pemberian pakan dan pengendalian kesehatan yang telah dilakukan oleh peternak sesuai anjuran. Dokumentasi tatalaksana pemeliharaan kelinci di Kecamatan Cireunghas dapat dilihat pada Lampiran 1.
Berdasarkan hasil survey dan wawancara langsung dengan peternak, sampai saat ini para peternak kelinci di Kecamatan Cireunghas memperoleh bibit dari peternak lain dan penyedia bibit kelinci di Kecamatan Kebonpedes Kabupaten Sukabumi. Mereka secara tidak langsung menjalin hubungan kerja sama dalam hal penyediaan bibit dan pemasaran. Jalinan kerja sama dalam penyediaan bibit kelinci di Kecamatan Cireunghas sudah mulai tumbuh. Hal tersebut terjadi seiring dengan perkembangan ternak kelinci yang semakin pesat. Secara tidak langsung saat ini telah terjalin kerja sama antar peternak kelinci dan antar kelompoktani dalam penyediaan bibit.
            Pakan yang diberikan peternak kelinci di Kecamatan Cireunghas berupa rumput lapang campuran dan dedak halus. Ketersediaan pakan kelinci di Kecamatan Cireunghas sampai saat ini sangat mendukung dan peternak tidak mengalami kesulitan dalam penyediaan pakan. Pendukung  utama dalam beternak kelinci  adalah tersedianya sumber pakan pada musim hujan ataupun kemarau. Kelinci cenderung menyukai jenis hijauan yang lunak, misalnya daun ketela rambat, rumput lapangan, daun kubis, kangkung dan lain-lain. Hijauan yang keras tidak begitu disukai oleh kelinci, misalnya alang-alang (lmperata cylindrica), karena dapat mengakibatkan luka pada mulut, hidung dan saluran pencernaan. Hijauan yang baik dan digemari kelinci adalah daun ketela rambat, rumput lapangan dan daun singkong. Selanjutnya dilaporkan pula, hijauan yang kurang disukai kelinci adalah Setaria sphacelata dan Brachiaria decumbens.

4.3.      Konsumsi dan Tingkat Permintaan Daging Kelinci
                         Berdasarkan hasil survey, konsumsi daging kelinci sebagai sumber protein di Kecamatan Cireunghas masih rendah. Produksi dan konsumsi daging kelinci di Kecamatan Cireunghas dapat dilihat pada Tabel 4.

Tabel 4.      Produksi dan Konsumsi Daging Kelinci di Kecamatan Cireunghas


Desa
Tahun 2010
Tahun 2011
Produksi
(kg)
Konsums
(kg)
Produksi
(kg)
Konsums
(kg)
1
Cipurut
66,0
-
120,6
3,5
2
                   Cireunghas
214,2
6,5
1.213,0
58,3
3
                   Tegalpanjang
74,0
-
76,5
4,3
4
                   Cikurutug
146,5
2,5
146,7
6,5
5
                    Bencoy
200,6
5,5
547,5
28,47
Jumlah
701,3
14,5
2.104,3
101,47
Sumber : Data hasil survey (2012)
           
Data pada Tabel 4 menunjukkan bahwa tingkat konsumsi daging kelinci di Kecamatan Cireunghas pada tahun 2010 hanya 2,06% dari produksi dan pada tahun 2011 mengalami peningkatan menjadi 4,82%. Perkembangan ternak kelinci yang begitu pesat di Kecamatan Cireunghas sampai saat ini belum diimbangi dengan tingkat konsumsi daging kelinci oleh masyarakat. Hal tersebut disebabkan karena masyarakat belum terbiasa mengkonsumsi daging kelinci dan belum mengetahui manfaat dan keunggulan daging kelinci. Sampai saat ini hasil ternak kelinci dipasarkan berupa anak kelinci sebagai hewan peliharaan/kesayangan dan sebagai hewan percobaan.  Pemasaran dilakukan melalui kerja sama antar kelompoktani ke wilayah Bogor dan Jakarta.
Tingkat konsumsi daging kelinci di Kecamatan Cireunghas berangsur mengalami peningkatan seiring perkembangan ternak kelinci dan pengetahuan masyarakat tentang keunggulan daging kelinci. Menurut hasil survey dan observasi lapangan, para peternak kelinci menyatakan bahwa sekarang sudah terbiasa dan tidak canggung lagi mengkonsumsi daging kelinci, bahkan pada hari raya Idul Fitri mereka sudah beralih dari konsumsi daging sapi ke daging kelinci. Hal tersebut terjadi hanya pada sebagian kecil masyarakat yang telah memelihara dan mengetahui keunggulan daging kelinci, sedangkan sebagian besar penduduk belum mengetahui manfaat dan keunggulan daging kelinci, sehingga tingkat konsumsi daging kelinci masih rendah jika dibandingkan dengan jumlah penduduk di Kecamatan Cireunghas. 
Pengembangan ternak kelinci sebagai penyedia daging sampai saat ini masih menemui banyak kendala karena daging dari ternak ini belum populer dan diterima oleh sebagian masyarakat, sehingga sulit dalam pemasarannya. Kesulitan pemasaran lebih banyak disebabkan oleh faktor kebiasaan makan (food habit) dan efek psikologis yang menganggap bahwa kelinci sebagai hewan hias atau kesayangan yang tidak layak untuk dikonsumsi dagingnya. Merubah faktor kebiasaan makan adalah hal yang sulit, karena manusia biasanya memiliki ikatan batin, loyalitas dan sensitifitas terhadap kebiasaan makannya meskipun hal ini dapat ditembus, namun memerlukan jangka waktu yang lama.
Perubahan kebiasaan makan dapat terjadi melalui dua cara, yaitu melalui perubahan lingkungan dan perubahan pada makanan itu sendiri yang akan sampai pada suatu keputusan untuk menerima atau menolak suatu makanan. Perubahan lingkungan mencakup hal yang kompleks, yaitu sosial, ekonomi dan ekologis yang mengarah kepada perubahan kebudayaan dan keadaan sosial, sehingga perubahan penyajian merupakan langkah yang lebih cepat dalam mensosialisasikan daging kelinci. Hal ini terbukti masyarakat sudah mulai menerima daging kelinci dalam bentuk olahan sate dan gule, oleh karena itu aplikasi teknologi pengolahan daging merupakan langkah yang tepat untuk mensosialisasi dan mempopulerkan daging kelinci dimasyarakat yang pada akhirnya dapat meningkatkan perkembangan ternak kelinci.   
Hasil telaah data dari Ditjen Peternakan dan Kesehatan Hewan tentang tingkat konsumsi daging tahun 2005 – 2009  menggambarkan, tingkat konsumsi daging sapi sekitar 20% dari total konsumsi daging per kapita per tahun. Dengan kata lain, penduduk Indonesia seharusnya [minimum] mengkonsumsi sekitar [0,2 x 10,3] = 2,06 kg daging sapi per kapita per tahun.  Jika 10% penduduk Kecamatan Cireunghas mengkonsumsi daging kelinci sebesar  10% dari total konsumsi daging per kapita per tahun maka akan  diperoleh angka  sebesar  [0,1 x 32.282] [0,1 x 10,3] = 3.325,05 kg daging kelinci per tahun. Hal tersebut akan sangat berperan dalam mensukseskan program swasembada daging pada tahun 2014, karena terjadi konversi konsumsi dari daging sapi ke daging kelinci.
Pemerintah telah berusaha untuk mengantisipasi peningkatan konsumsi protein hewani dengan meningkatkan produksi peternakan melalui peningkatan populasi dan produktivitas ternak ruminansia, diantaranya ternak sapi dan kerbau, melalui program swasembada daging sapi/kerbau (PSDS/K) tahun 2014. Penyediaan daging hanya dari ternak tersebut tampaknya kurang optimistik, karena ternak ruminansia lambat tingkat reproduksinya, sedangkan ternak unggas dan babi meskipun mempunyai kemampuan reproduksi yang tinggi dan tingkat pertumbuhan yang cepat, tetapi membutuhkan pakan yang mahal dan berkompetensi dengan manusia. Oleh karena itu, diperlukan ternak lain yang mempunyai potensi biologis yang tinggi dan ekonomis sebagai penghasil daging.
Berdasarkan hasil survey dan observasi lapangan diketahui bahwa meskipun tingkat konsumsi daging kelinci di Kecamatan Cireunghas masih rendah, tetapi  penulis optimis bahwa secara bertahap pemanfaatan daging kelinci sebagai sumber protein akan terus meningkat dan akan terjadi konversi konsumsi dari daging sapi ke daging kelinci. Hal tersebut akan berpengaruh positif dan dapat mendukung program swasembada daging tahun 2014.

4.4.      Potensi dan Kendala Pengembangan Kelinci
Kelinci mempunyai potensi tinggi untuk dikembangkan sebagai penghasil daging, karena secara teori seekor induk dapat menghasilkan 80 kg daging dalam setahun, atau 44 kg anak bobot sapih.  Kelinci memiliki potensi biologis yang tinggi, diantaranya dapat dikawinkan kapan saja asal telah dewasa kelamin, beranak banyak, waktu bunting pendek, pertumbuhan cepat, mempunyai keragaman genetik yang tinggi antar ras dan dalam ras (lebih dari 20 ras dan tiap ras memiliki beberapa galur). Selain itu juga mempunyai kemampuan memanfaatkan hijauan dan produk limbah secara efisien sehingga tidak bersaing dengan manusia. Daerah yang cocok untuk tumbuh dan berkembangbiaknya kelinci secara umum pada daerah sub tropis (dingin) sampai tropis dengan suhu agak rendah dan kelembaban tinggi terutama untuk penghasil kulit dan bulu.
Daya dukung dan potensi wilayah Kecamatan Cireunghas  memberi peluang bagi pengembangan ternak kelinci, antara lain karena disatu pihak kepadatan penduduk yang tinggi dengan kondisi pemenuhan gizi yang kurang, dilain pihak  hijauan dan limbah pertanian tersedia sepanjang tahun, musim yang relatif tidak berubah sepanjang tahun dan tingginya potensi kelinci itu sendiri, sangat memungkinkan pengembangan ternak kelinci secara efektif.
Beberapa aspek yang sangat menarik dari potensi ternak kelinci untuk dikembangkan adalah :  1) Beternak kelinci tidak memerlukan modal dan biaya pemeliharaan yang tinggi, bahkan dalam keadaan sederhana kelinci dapat tumbuh dan berkembangbiak dengan baik karena ukurannya yang kecil. Kelinci dapat dipelihara dalam skala kecil (backyard) atau dalam skala besar (Commercial). Ini penting artinya bagi penduduk Indonesia, dimana pemilikan lahan sangat terbatas; 2) Kelinci mempunyai kemampuan reproduksi yang tinggi. Secara teoritis, kelinci dapat beranak 10 kali/tahun dengan jumlah rata-rata anak 8 ekor/litter dan dapat mencapai bobot karkas 1 kg pada umur 10 minggu, dewasa kelamin pada umur 5-7 bulan, lama bunting 31 hari serta dapat dikawinkan kembali segera setelah beranak; dan 3)  Daging kelinci mempunyai gizi dan rasa yang lebih unggul dibandingkan daging yang berasal dari ternak lainnya sehingga sangat baik dan aman dikonsumsi anak-anak maupun dewasa serta usia lanjut, karena kandungan protein tinggi (21%) dengan kandungan kolesterol sangat rendah (0,1%) serta mengandung asam linoleat tertinggi diantara ternak lainnya (22,5%).
Kendala utama yang dihadapi dalam pengembangan ternak kelinci adalah : 1) Dari segi produksi, kendala yang dihadapi adalah rendahnya produktivitas dan mutu hasil, terutama pada pemeliharaan skala kecil yang diakibatkan kurangnya pengetahuan manajemen pemeliharaan; 2) Kelinci merupakan hewan kesayangan dan bentuknya mirip kucing dan tikus, serta adanya anggapan bahwa daging kelinci tidak halal untuk dimakan, sehingga sangat sulit untuk memasyarakatkan daging kelinci sebagai sumber pangan alternatif; dan 3) Pengembangan agribisnis ternak kelinci masih memerlukan promosi yang intensif dan kemampuan untuk  memasuki pasar atau menciptakan pasar.




KESIMPULAN DAN SARAN

  
5.1.      Kesimpulan
        

            Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan hal-hal sebagai berikut :
  1. Pengembangan ternak kelinci di Kecamatan Cireunghas tiap tahunnya mengalami peningkatan yang cukup signifikan, dimana saat ini, jumlah keseluruhan populasi kelinci mencapai 2.057 ekor, dengan jumlah peternak sebanyak 12 orang.
  2. Ternak kelinci memiliki potensi yang sangat besar untuk dikembangkan dalam rangka mencapai swasembada daging tahun 2014. Potensi tersebut terkait dengan keunggulan yang dimiliki kelinci, yaitu : (1) Beternak kelinci tidak memerlukan modal dan biaya pemeliiharaan yang tinggi, bahkan dapat diusahakan dalam skala rumah tangga; (2) Kelinci mempunyai kemampuan reproduksi yang tinggi; dan (3) Daging kelinci memiliki rasa dan gizi yang lebih unggul dibandingkan ternak lain.
  3. Hambatan yang dihadapi dalam pengembangan ternak kelinci antara lain : (1) Kelinci lebih populer sebagai hewan peliharaan dibandingkan sebagai hewan ternak, sehingga sebagian besar masyarakat enggan untuk mengkonsumsi daging kelinci; (2) Masih rendahnya keterampilan petani/peternak dalam membudidayakan kelinci, sehingga motivasi untuk berusahatani kelinci di sebagian besar petani/peternak relatif kecil; (3) Sulitnya mendapatkan bibit kelinci pedaging yang berkualitas, sehingga penggunaan bibit yang kurang unggul mengakibatkan rendahnya produktivitas daging kelinci; dan (4) Kurangnya perhatian Pemerintah dalam pengembangan ternak kelinci, karena lebih memfokuskan perhatian terhadap ternak lain, seperti sapi, untuk mencapai swasembada daging; 


5.2.     Saran

  1. Perlu dilakukan sosialisasi yang intensif oleh Pemerintah kepada masyarakat, terutama melalui media televisi, tentang keunggulan dan manfaat mengkonsumsi daging kelinci, sehingga dapat menumbuhkan minat masyarakat untuk mengkonsumsi daging kelinci, yang pada akhirnya dapat meningkatkan gairah petani/peternak untuk membudidayakan kelinci.
  2. Perlu dilakukan pelatihan, kursus tani, bimbingan teknis, dan metode penyuluhan lainnya bagi petani/peternak untuk meningkatkan pengetahuan dan keterampilan dalam membudidayakan kelinci, sehingga memungkinkan diperolehnya produktivitas ternak kelinci yang lebih tinggi.
  3. Perlu ditumbuhkembangkan kelompoktani yang fokus terhadap pembibitan kelinci unggul, sehingga pengembangan ternak kelinci tidak terkendala pada penyediaan bibit berkualitas.
  4. Untuk meningkatkan penerimaan masyarakat terhadap daging kelinci serta dalam upaya diversifikasi pangan hewani, maka pengembangan produk olahan daging kelinci perlu ditingkatkan. Oleh sebab itu, perlu ditumbuhkan sentra-sentra industri kecil, menengah, ataupun besar yang memproduksi olahan daging kelinci, seperti dalam bentuk nugget.
  5. Pengembangan usaha ternak kelinci harus dilakukan secara simultan dari hulu sampai hilir oleh karena itu diperlukan bantuan pemerintah berupa kredit lunak yang tidak memberatkan peternak.
  6. Perlu dilakukan penelitian lanjutan untuk mengetahui sejauh mana pengaruh pengembangan ternak kelinci dalam mendukung swasembada daging.



DAFTAR PUSTAKA


Bennett, B. 1988. Raising Rabbits The Modern Way. A Garden Way Pub. Book, UnitedSatates.
[BP3K] Balai Penyuluhan Pertanian, Perikanan dan Kehutanan,  2011Programa Penyuluhan Pertanian,Perikanan dan Kehutanan  Kecamatan Cireunghas Tahun 2012Sukabumi: BP3K.
Chan, W., J. Brown, S.M. Lee and D.H. Buss. 1995. Meat, Poultry and Game. The Royal Society of Chemistry, London
Cheeke, P.R., N.M. Patton, S.D. Lukefahr and J.I. Mcnitt. 1987. Rabbit Production. The Interstate Printers and Publishers Inc. Danville, illinois.

Ensiminger, M.E., J.E. Oldfield., W.W. Heinmann. 1990. Feed and Nutrition. 2nd Ed.The Ensminger Pub. Co., USA.
Kartadisastra, H.R. 2001. Ternak kelinci. Kanisius. Yogyakarta.
Raharjo, Y.C., T. Murtisari, Sajimin, B. Wibowo, Nurhayati, D. Purwantari, Lugiyo dan Hartati. 2004. Pemanfaatan aneka ternak sebagai sumber pangan hewani dan produk lain bermutu tinggi. Laporan Penelitian. Balai Penelitian Ternak Ciawi, Bogor.
Raharjo, Y.C. 1994. Potential and prospect of an integrated rex rabbit farming in supporting an export oriented agribisnis. J. IARD 16: 69-81.
Sarwono, B. 2003. Kiat mengatasi permasalahan praktis kelinci potong dan hias. Agromedia Pustaka. Jakarta.
Schlolaut, W., 1981. The Production Capacity of Rabbit in Meat and Wool. Animal Research and Development. Vol IV.
Sitorus P., S. Sastrodihardjo, Y.C. Raharjo, I.G.Putu, Santoso, B. Sudaryanto dan A. Nurhadi. 1982. Budidaya Peternakan Kelinci di Jawa. Laporan. Pusat Penelitian dan Pengembagan Peternakan. Bogor

Thakur, R.S. and P.G. Puranik. 1981. Rabbit a Mammalian Type. S. Chand and Co.Ltd. Ram Nagar, New Delhi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar